Director & Writer: Mouly Surya
Cast: Nicholas Saputra, Ayushita, Karina Salim, Anggun Priambodo, Lupta Jennifer
Genre: Surealis, Romance, Drama.
Ket: Film ini untuk dewasa karena ada adegan intim yang cukup eksplisit
Cast: Nicholas Saputra, Ayushita, Karina Salim, Anggun Priambodo, Lupta Jennifer
Genre: Surealis, Romance, Drama.
Ket: Film ini untuk dewasa karena ada adegan intim yang cukup eksplisit
Sejujurnya, saya sangat bosan dengan beberapa film Indonesia yang
bergenre horsex, cinta yang sudah banyak rumus selalu sama yang menjamur
beberapa tahun belakangan ini. Termasuk film reliji yang makin tidak
ada juntrungannya. Akhirnya, ada film yang menghapus dahaga saya: What
They Don't Talk About When They Talk About Love. Judul yang panjang
bukan? Film ini merupakan film pertama yang masuk ke Sundance Festival.
Untuk pemerannya, ada bintang kesayangan Nicholas Saputra dan Ayushita
serta Karina Salim, Lupita Jennifer dan Anggun Priambodo.
Alkisah, di sekolah luar biasa terdapat siswa-siswi yang memiliki
masing-masing kekurangan fisik. Namun beberapa diantara mereka mencari
sebuah identitas, yaitu cinta. Ada Diana yang mengalami low vision,
Andhika yang buta totat juga Fitri mengalami hal sama yang bersekolah di
tempat itu. Ada juga Maya dan Edo, seorang pemuda yang tuli berjualan
minuman bersama ibunya. Dengan kekurangan fisik itu semua, apakah
keterbatasan itu menghalangi mereka untuk meraih sebuah hal bernama:
romansa cinta?
Sebuah film yang cukup berani dalam mengambil
cerita cinta yang berbeda. Mouly Surya yang menggarap film ke dua nya
setelah Fiksi memberikan sebuah film yang menurut saya berhasil
mengambil 'jalan yang berbeda'. Ia mencari sebuah kisah baru mengenai
cinta yang tidak umum, bahkan mengeksplor orang-orang yang mengalami
kekurangan fisik. Justru, ia dengan cerdas mengolah sesuatu hal dari
elemen-elemen itu menjadi suatu bumbu lama menjadi lebih inovatif. Ia
pun mengedepankan persona dan membagi rata setiap karakter sehingga
tidak ada tumpang tindih. Hampir semua cast bermain cemerlang. Tidak ada
keraguan bagi saya untuk memberikan aplaus pada kelima aktor/aktris
itu. Yang sangat mencuri perhatian jelas Karina Salim sebagai Diana. Ia
merupakan aktris yang masih 'hijau' namun memberikan esensi kekuatan
lebih pada karakternya.

Pergerakan film ini sejujurnya
bukanlah suatu plot yang renyah untuk dinikmati penonton awam kita. Alur
yang tidak tertebak dan juga banyaknya long take scene yang sebenarnya
sangat fresh. Banyaknya muatan filosofis dan juga surealisme yang
sebenarnya masih jarang ada pada sinema di Indonesia. Alunan musiknya
yang klasik bahkan memberikan nostalgia tersendiri untuk saya sehingga
memberikan kesan yang mendalam. Elemen ini sedikit mengingatkan saya
pada Syndrome and a Century karya Apichatpong Weerasethakul, sama-sama
surealis.
Overall, film ini merupakan film yang sangat layak untuk ditonton walaupun tidak semua penonton akan suka dan terbiasa dengan tipe genre ini. Sebuah tontonan yang memberikan keindahan, kekuatan akan dunia sinema yang berbeda dan surealisme akan makna cinta. Salah satu film terbaik dari negeri kita yang saya suka. A Well Recomended.
Score: 4,5/5
Sedikit oleh-oleh dari nonton bareng film ini di Blitz Megaplex Paris Van Java:

Bersama Mouly Surya, Sutradara dan Penulis dari WTDTAWTTAL

Bersama Nicholas Saputra, pemeran Edo di WTDTAWTTAL
Ini nonton plus-plus namanya :) Udah filmnya bagus, eh bisa ketemu pemain filmnya.
ReplyDeleteJadi, Nico ini memang sangat selektif ya milih film. Bagus!
Hahaha.. sepertinya..
DeleteKalau meliat cv Nico belakangan ini memang jarang-jarang bermain film.
Tidak seperti Reza Rahardian yang hampir tiap tahun bermain film dan minimal 2 film tiap tahunnya
Nicolas Saputraaaa~ *nose-blood* >.< langsung iri hati!!
ReplyDeleteDisini Nico tampil berbeda :)
Delete